Minggu, 18 Maret 2012

Dialektika Karl Marx

Tinjauan Tentang Materialisme Dialektik Karl Marx
 
Materialisme pada dasarnya merupakan bentuk yang paling radikal dari paham naturalisme. Sebagaimana diketahui, Naturalisme adalah teori yang me-nerima ‘natura’ (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah ‘natura’ telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti. Dari dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natu-ra adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam (Titus, dkk, 1984: 293).
Menurut Wiiliam R. Dennes, seorang penganut naturalisme, ketika natu-ralisme modern berpendirian bahwa apa yang dinamakan kenyataan pasti ber-sifat kealaman, maka kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan adalah kejadian. Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupa-kan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami manusia. Satuan-satuan semacam itulah yang merupakan satu-satunya penyusun dasar bagi segenap hal yang ada (Katsoff, 1992: 216-218).
Alam (universe) itu merupakan kesatuan materi yang tidak terbatas; al-am, termasuk di dalamnya segala materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan alam adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material, obyektif dan dapat diketahui oleh manusia. Materialisme modern me-ngatakan bahwa materi ada sebelum ada jiwa (mind) dan dunia material adalah yang pertama, sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua. Charles S Seely; 1967 (Listiyono Santoso, 2003: 39).
Dalam arti sempit, materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa be-ntuk benda dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi dan gerak. Materialisme berpendapat bahwa semua kejadian dan kondisi adalah akibat la-zim dari kejadian-kejadian dan kondisi-kondisi sebelumnya. Benda-benda organik atau bentuk-bentuk yang lebih tinggi dalam alam hanya merupakan bentuk yang lebih kompleks daripada bentuk anorganik atau bentuk yang lebih rendah. Ben-tuk yang lebih tinggi tidak mengandung materi atau energi baru dan prinsip fisika adalah cukup untuk merenungkan segala yang terjadi atau yang ada. Semua pro-ses alam, baik organik atau anorganik telah dipastikan dan dapat diramalkan jika segala fakta tentang kondisi sebelumnya dan dapat diketahui (Titus, dkk, 1984: 294).
Dengan demikian, materialisme selalu memberikan titik tekan bahwa ma-teri merupakan ukuran segalanya, melalui paradigma materi ini segala kejadian dapat diterangkan. Artinya, segala kejadian sebagai kategori pokok untuk mema-hami kenyataan sesungguhnya dapat dijelaskan melalui kaidah-kaidah hukum fi-sik. Keseluruhan perubahan dan kejadian dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip sains alam semata-mata, karena kenyataan sesungguhnya bersifat materi dan harus dijelaskan dalam ‘frame’ material juga. Sedangkan satu-satunya dunia yang diketahui atau dapat diketahui adalah dunia yang sampai pada kita melalui indra (Listiyono Santoso, 2003: 40).
Sedangkan istilah dialektika-pada dasarnya- bukanlah merupakan termi-nologi baru dalam filsafat. Bila ditelusuri lebih jauh, pengertian ini telah terkan-dung dalam filsafatnya Herakleitos (500 SM) yang mendasarkan filsafat pada ‘pe-rtentangan-pertentangan’, dan pertentangan adalah arti umum dan awal dari di-alektika. Sokrates kemudian juga menggunakan dialektika sebagai metode untuk memperoleh melalui cara-cara dialog, mempertanyakan dan kemudian memban-tah jawaban yang diperoleh untuk memperoleh kepastian pengetahuan. Istilah dialektika ini kemudian semakin terlembaga pada filsafat Hegel (1770-1831), yang merumuskan dialektika sebagai teori tentang persatuan hal-hal yang ber-tentangan. Dunia menurut Hegel selalu berada dalam proses perkembangan.  Proses perkembangan tersebut bersifat dialektik, artinya perubahan-perubahan itu berlangsung dengan melalui tahapan afirmasi atau tesis, pengingkaran atau antitesis dan akhirnya sampai kepada integrasi atau sintesis (Titus, dkk, 1984: 302).
Untuk lebih jelasnya, asal usul kata dialektika ini dijumpai dalam tulisan yakhot (1995: 11), yang artinya:
(Dialektika berasal dari kata yunani ‘dialego’ yang artinya pembalikan, perbantahan. Di dalampengertian lama, dialektika bermakna sebagai seni pencapaian kebenaran melalui cara pertentangan dalam perdebatannya dari satu pertentangan berikutnya. Selanjutnya dialektika dipergunakan untuk suatu metode dalam memahami kenyataan.)
Dalam konteks ini Marx-dan juga Engels-menerima prinsip dialektik tersebut, te-tapi ia juga menolak prinsip ontologism dari dialektikanya Hegel. Kekeliruan He-gel, menurut Marx adalah karena Hegel menyajikan dalam bentuk mistik (Titus, dkk, 1984: 303).
Sebagaimana diketahui Hegel dan kaum idealisme lainnya, mengkanstra-tir suatu pemahaman bahwa alam merupakan hasil ruh (absolut), sehingga diale-ktika yang muncul adalah dialektika idea. Artinya, dialektika-dengan demikian ha-nya terjadi dan dapat diterapkan dalam dunia abstrak, yaitu ide atau pikiran ma-nusia (Listiyono Santoso, 2003: 42).
Prinsip dialektika Hegel dan kaum idealis ini ditolak oleh Marx. Bagi Marx, segala sesuatu yang bersifat rohani merupakan hasil materi, sehingga dialektika yang dia kembangkan adalah dialektika materi. Bahwa dialektika terjadinya di dunia nyata bukan di dunia materi sebagaimana yang dikonstratir Hegel. Karena itulah, filsafat Karl Marx disebut dengan ‘materialisme dialektik’ (K. Bertens, 1979: 80). Proses dialektika adalah suatu contoh yang ada di dalam dunia. Dialektika adalah suatu fakta empiris, manusia mengetahuinya dari penyelidikan tentang alam, dikuatkan oleh pengetahuan lebih lanjut tentang hubungan sebab musabab yang dibawahkan oleh ahli sejarah dan sains (Listiyono Santoso, 2003: 43).
Di lain hal Karl Marx juga mengemukakan:
“metode dialektika saya sendiri bukan saja berbeda dari metode dialek-tika Hegel, tetapi lawan langsung darinya. Bagi Hegel, proses berpikir itu adalah pencipta dari dunia nyata, dan dunia nyata hanya manifestasi lahir dari “ide”. Bagi saya sebaliknya dari itu, yang berupa dalam cita (the ideal) tidak lain dari dunia nyata (material world) yang direfleksikan oleh pikiran manusia dan dipindahkan menjadi buah pikiran”(Firdaus Syam, 2007: 169).
Penjelasan konsep materialisme dialektis Marx ini pada akhirnya mem-bawa pengaruh pada bangunan sistem pengetahuan yang dibentuk pada prinsip tersebut. Segala sesuatu harus dapat dijelaskan dalam kerangka benda sebagai satu-satunya yang nyata. Secara radikal bisa saja Marx berusaha untuk memberi-kan suatu pemahaman bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan ma-nusia terhadap dunia nyata atau kenyataan obyektif, karena kebenaran pengeta-huan hanya ada pada dunia nyata, bukan dalam dunia ide (pikiran) manusia. Bah-kan pada tingkat selanjutnya, materialisme pada akhirnya hanya mempercayai bahwa pengetahuan ilmiah (ilmu) merupakan satu-satunya pengetahuan yang memadai (Listiyono Santoso, 2003: 43).
karya-karya Karl Marx
Diantara tulisan-tulisannya Karl Marx adalah Manifesto of The Communist Party (1848) karya Marx bersama Engels, The Eighteenth Brumaire of Louis Bor-naparte serta karya besarnya yakni Das Capital. Selain itu juga ada risalah yang berjudul Economic and Philosophic Manuscripts. Semasa hayatnya, tulisan Marx tidak banyak dibaca orang. Namun tidak lama kemudian gagasan dan seruan mo-ralnya, perbendaharaan kata-katanya, bahkan pendiriannya yang dianggap me-nyimpang, mulai mempengaruhi jalan sejarah dunia. Bagaimanapun juga Marx-isme merupakan buah karya intelektual, lantaran doktrinnya digunakan secara politik dan menghadirkan fenomena intelektual terpenting di zaman kita
(C Wright Mills dalam Imam Muttaqien (terj), 2003: 23).
Economic and Philosophic Manuscript, ditulis Marx tahun 1844, ketika beliau berusia 26 tahun. Dalam tulisannya Marx memiliki kecerdasan untuk me-nemukan bahwa industrialisme benar-benar hadir dan harus disambut sebagai satu-satunya harapan untuk membebaskan manusia dari keburukan nafsu ke-bendaan ketidakpedulian dan penyakit. Dalam manuskrip, Marx mengatakan bahwa kapitalisme manusia di alienasikan dari pekerjaan, barang yang dihasilkan, majikan, rekan sekerja dan diri mereka. Buruh menurut Marx tidak bekerja untuk mengaktualisasikan dirinya serta potensi kreatifnya karena “pekerjaan tidak atas dasar kesukarelaan tetapi atas dasar paksaan.” Williamn Ebenstain dan Edwin Fogelman, hlm. 22 (Firdaus Syam, 2007: 174).
The Manifesto of The Communist Party, atau Manifesto Partai Komunis
dicetak pada bulan Februari, 1845 merupakan karya Karl Marx dan Engels telah mendapat respon yang luar biasa, dan karena karya inilah ia dikenal sebagai to-koh yang menjagad. Di kalangan pengikut Marxisme, ini tidak ubahnya sebagai “kitab” bagi petunjuk hidup dan perjuangan politik. Dalam buku ini dikemukakan mengenai hakikat perjuangan kelas, yang dijelaskan:
“sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan yang ditentukan, berada pada posisi yang selalu bertentangan satu sama lainnya, dan berlangsung tanpa terputus”. Karl Marx dan Engels, The Manifesto…,1967, hlm 79, (Firdaus Syam, 2007: 175).
Politik Marx
Masyarakat dan Negara. Negara menurut Marx sebagai alat belaka dari kelas  penguasa (berpunya) untuk menindas kelas yang dikuasai (yang tidak ber-punya). Negara dan pemerintahan identik dengan kelas penguasa, artinya deng-an kelas bepunya dalam sejarah berturut dikenal kelas pemilik budak, kelas bang-sawan (tuan tanah), kelas borjuis. Ini berkaitan dengan dialektika bahwa perkem-bangan masyarakat feodalisme kemasyarakatan borjuis atau kapitalisme dan se-lanjutnya menuju masyarakat sosialisme yang perubahan itu merupakan kelan-jutan yang tidak dapat dielakkan. Untuk menuju masyarakat komunis, tidak de-ngan berdiam diri, melainkan harus berjuang bukan menanti dialektika sejarah itu (Firdaus Syam, 2007: 179).
Nasionalisme bagi Marx hanyalah bagian dari suprastruktur ideologi kapi-talis. Namun ia juga berpendapat ada sisi lain dari kapitalisme, yakni turut mem-bantu melenyapkan nasionalisme. Dalam bukunya Communist Manifesto, Marx  menulis perbedaan serta pertentangn nasional menurutnya semakin hari sema-kin menghilang. Hal ini dikarenakan adanya perdagangan bebas, kelompok borju-is, pasar dunia, keseragaman cara produktif serta berbagai kondisi kehidupan ya-ng memiliki keterkaitan erat dengan cara produksi itu. Menurutnya melalui pers-pektif ekonomi, nasionalisme itu akan lenyap sebagai kecurigaan usang dari zam-an industri. Williamn Ebenstain dan Edwin Fogelman, hlm. 21 (Firdaus Syam, 2007: 183).
Agama. Bagi Marx religion is the opium of people, adalah ungkapannya yang terkenal bagaimana umumnya orang memiliki penilaian terhadap sikap kalangan komunis terhadap keberadaan agama ditengah masyarakat dan Ne-gara. Marx memandang agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sen-diri, melainkan menjadi sesuatu yang berada diluar dirinya yang menyebabkan manusia dengan agama menjadi makhluk yang terasing dari dirinya sendiri. Agama adalah sumber keterasingan manusia ( Murtadha Mutahhari: 1987).
Agama harus dilenyapkan karena agama sebagai alat kaum borjuis kapi-talis untuk mengeksploitasi kelas pekerja. Agama dijadikan sebagai alat kekua-saan untuk mempertahankan kekuasaannya, selain dijadikan alat agar rakyat ti-dak melakukan perlawanan, pemberontakan, dibiarkan terlena dan patuh atas penguasa, dan semua ini sebagai fungsi eksploitasi agama. Agama adalah produk dari perbedaan kelas, selama perbedaan kelas ada maka agama tetap ada. Marx percaya bahwa agama adalah perangkap yang diapasang kelas penguasa untuk mejerat kelas pekerja, bila perbedaan kelas itu hilang, agama dengan sendirinya akan lenyap( Murtadha Mutahhari: 1987).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon komentar nya