Minggu, 18 Maret 2012

LOGIKA; Antara Materialisme Dialektika dan Realisme Metafisis

MANUSIA adalah mahluk pencari kebenaran, karenanya ia memiliki dorongan keingintahuan yang kuat atas berbagai hal. Pertanyaannya, bagaimana ia dapat memperoleh pengetahuan atas berbagai hal dan menentukan nilai benar dan salahnya? Terhadap hal ini, berbagai berbagai aliran (isme) memiliki pandangan dan keyakinan yang saling berbeda satu sama lain. Artinya, prinsip-prinsip fundamental pengetahuan manusia sesungguhnya menjadi ajang perdebatan penting antar berbagai mazhab pemikiran dan ideologi. Karena ini poros sandaran dan justifikasi atas setiap pandangan dan penilaian berbagai isme. 

Namun demikian, sebagian besar mazhab pemikiran memandang penting peran rasio (eksistensi mental) dalam mengungkap pengetahuan dan nilainya bagi manusia. Meskipun tidak semuanya mendudukkan rasio dalam posisi fundamental. Bahkan menafikan perannya dalam menentukan validitas (nilai) suatu pengetahuan. Berbagai bukti diajukan masing-masing isme tersebut dalam menjustifikasi pandangannya tentang prinsip-prinsip fundamental pengetahuan. Tulisan ini akan mengupas dinamika yang terjadi antara mazhab realisme metafisis dan materialisme dialektika terkait peran rasio dan hukum-hukum yang berlaku atasnya.

Pandangan dunia materialisme dialektika memandang realitas mental manusia adalah bagian dari alam (materi) dan merupakan produk tertinggi alam. Karena itu, hukum-hukum yang berlaku terhadapnya sama halnya dengan realitas materi yang mengalami gerak perkembangan akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya. Berbeda dengan realisme metafisis yang melihat realitas mental sebagai daya-daya jiwa dalam wujud immateri, tidak tunduk pada hukum-hukum materi yang senantiasa dalam gerak dari setiap tahapan potensialitas menuju rentangan aktualitasnya.

Materialisme dialektika dan realisme metafisis sesungguhnya menyuguhkan berbagai bukti dan argumentasinya masing-masing terhadap realitas mental. Namun kita hanya membatasi pada melihat pemahaman dua isme tersebut terhadap hukum-hukum yang berlaku dan menguasai mental dalam aktifitasnya mengungkap dan memperoleh pengetahuan. Inilah yang mengacu pada kedudukan dan peran logika, dengan berbagai prinsip dan kaidah yang berlaku padanya.

Dalam sejarahnya, logika umum manusia dihadapkan pada dua pilihan sandaran, logika Aristotelian  (formal) disatu sisi – yang menjadi pegangan realisme metafisis - dan logika Hegelian (dialektika) disisi lain, yang diadopsi materialisme dialektika. Dua sistem logika ini saling bertarung dalam meneguhkan bahwa prinsipnyalah yang paling benar dan layak digunakan manusia metode penalaran penalaran dan cara memperoleh pengetahuan yang benar. Logika formal lebih dahulu muncul dan menguasai azas-azas logika para pemikir dan ilmuan. Kemudian hadir logika dialektika yang mengklaim sebagai tahap perkembangan tertinggi logika manusia yang mengatasi dan melampau logika formal.

Logika Formal pasca Aristoteles banyak mengalami revisi dan pertambahan, terutama terkait formula lebih lengkap dalam memastikan kesahihan materi suatu proposisi. Mutadha Muthahhari menyebutkan bahwa penyempurnaan logika formal berada ditangan pemikir muslim, khususnya Al Farabi dan Ibn Sina. Poin sangat penting adalah pemilahan ilmu oleh Al Farabi kedalam dua bagian, gagasan (tasawwur; conception ) dan penegasan (tasdiq; justification). (M. Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Bab Logika). Pembagian ini memberi konsekuensi pada pemilahan berbagai konsep sedehana dan berbagai prinsip hubungan diantara konsep-konsep tersebut serta objektifitasnya.

Demikian juga halnya dengan logika dialektika, karakter awalnya ditangan Hegel mencakup katagori-katagori lebih umum, digeser pada posisi materialistik dan praktis oleh Marxisme. Herbert Marcuse menjelaskan bahwa sebelum Hegel merumuskan hukum umum penalaran, ia bergumul dengan ontologi tradisional tentang pemaparan “existence as  such”. Juga ia turut mendiskusikan bentuk gagasan-gagasan paling umum diantaranya; substansi, kuantitas, kualitas, kesatuan, dan pluralitas. (Herbert Marcuse; Rasio dan Revolusi; Menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel Untuk Umum, hal. 51). Ini turut mempengaruhi bangunan logika Hegel tidak terbatas pada fenomena materi dan lingkungan sosial semata, sebelum direduksi Marx hingga batas dialektika materialisme historis.

Logika formal mengacu pada hukum non kontradiksi sebagai prinsip utamanya, artinya watak dasar pengetahuan yang sahih adalah ia tidak mengandung kontradiksi-kontradiksi internal. Dalam realisme metafisis, kontradiksi adalah kemustahilan dan secara ninscaya tertolak oleh rasio manusia. Hukum rasio menjelaskan bahwa “dua hal yang bertentangan tidak mungkin bersatu dalam satu subjek dengan kondisi yang sepenuhnya sama”. Dengan demikian, prinsip non kontradiksi adalah hukum niscaya utama dalam logika formal.

Kebalikannya, logika dialektika mendudukkan prinsip utamanya pada hukum kontradiksi. Karena berbagai tahapan perkembangan apapun, termasuk logika dan pengetahuan manusia mengandung dan hasil dari  berbagai kontradiksi internal. Karenakan kontradiksi-kontradiksi itu, watak penalaran dan pengetahuanpun menjadi dialektis. Ini berangkat dari klaim bahwa rasio atau nalar manusia adalah bagian dan produk tertinggi dari alam. Maka seluruh kandungan mental (pengetahuan) mesti sama dan sejalan dengan hukum-hukum yang dikandung materi dalam gerak perkembangannya melalui kontradiksi-kontradiksi internal.

Mengingat wataknya yang dialektis, rasio manusia – dalam pandangan materialisme dialektika –tidak mungkin memperoleh kepastian-kepastian (nilai absolut) dalam pengetahuannya. Sebaliknya, kebenaran senantiasa dalam perubahan dan perkembangan, mengikuti gerak perkembangan progresif alam. Sistem penalaran dalam logika dialektika, setiap pernyataan selalu berhadapan dengan lawan negasinya yang tersimpulkan dalam suatu sintesis. Kesimpulan ini dapat dijadikan dasar pernyataan baru dalam siklus yang sama. Inilah yang disebut sistem logika lipat tiga dengan siklus tesis (pernyataan), anti tesis (negasi), dan sintesis (negasi atas negasi) dalam logika dialektika.

Meluruskan Kesalahpahaman

Kalangan dielektikawan menuduh logika formal sebagai metode berpikir yang kaku, tidak mengalami perkembangan dikarenakan formulanya yang ketat dengan kesimpulan-kesimpulannya yang dibuat absolut. Tuduhan dan kritikan ini – bagi realisme metifisis – sama sekali tidak mengenai sasaran. Ini berangkat dari kegagalan logika dialektika dalam memahami hukum gerak dan perkembangan itu sendiri yang diangung-agungkannya.

Kritikan tersebut sebenarnya dapat dikembalikan pada beberapa kesalahan pemahaman. Pertama, materialisme dialektika secara serampangan menggeneralkan eksistensi mental dan realitas pengetahuan tercakupi dalam hukum-hukum materi yang senantiasa berada dalam perubahan progresif (gerak). Padahal jelas eksistensi mental dan pengetahuan itu sendiri diluar kualifikasi manteri dan tidak memiliki karakteristik yang demikian. Kedua, eksistensi mental hanya membentuk gagasan yang sesuai atau merepresentasikan bentuk-bentuk eksistensi eksternal, namun ia tidak memiliki gejala dan efek sepertihalnya yang dimiliki oleh objek eksternal yang dipresentasikan itu. Ketiga, gerak dan perubahan yang terjadi dialam eksternal tidak mengharuskan setiap gagasan bergerak dan mengalami perubahan.

Ide-ide mental keberadaannya immaterial dan tidak tunduk pada hukum-hukum yang menguasai alam materi. Tidak berkembang sebagaimana perkembangan materi dalam deretan geraknya. Jika sesuatu dialam eksternal mengalami perkembangan, ide tentangnya untuk tahap tertentu tidak lantas berkembang mengikuti tahapan realitas eksternalnya. Tetapi tahapan perkembangan berikutnya butuh ide lain yang sesuai dengannya. Ide pertama bersifat tetap untuk tahap tertentu. Begitu juga ide untuk tahap selanjutnya dari objek eksternal tersebut, berlaku sebagaimana hukum ide pertama. Jika setiap ide itu sesuai dengan masing-masing tahap tertentu objek eksternal tersebut maka ide tersebut selamanya benar.

Hal lain adalah sangkaan dialektikawan bahwa logika formal memandang alam sebagai wujud yang beku (tidak mengalami perkembangan). Ini sangkaan yang sangat naïf, karena anak kecil saja tahu ada berbagai perubahan dan perkembangan yang terjadi disekitarnya. Hanya saja logika formal memandang setiap gerak dan perkembangan yang terjadi di alam materi berjalan dengan hukum-hukum yang niscaya (tetap). Misalkan materi itu sendiri, “setiap wujud materi pasti mengalami gerak perubahan mengikuti kemungkinan-kemungkinan (potensi; kapasitas) aktualitasnya.” Hukum ini berlaku tetap bagi materi kapanpun dan dimanupun kita mendapati sesuatu itu adalah materi [] Novendra Dj | Anggota Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF Institute) | Email : vendra.dj@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon komentar nya